Dalam
rentang waktu 12 tahun lebih sejak Proklamasi Kemerdekaan RI (tahun 1945-1957)
ada 7 hal yang dapat diungkapkannya yang terkait langsung dengan keberadaan PA
di Indonesia.[1]
Sedangkan dalam rentang tahun 1957-1970 ada 3 hal yang dicetuskan. Kalau di
jumlahkan ada sekitar 10 hal yang diungkapkan terkait dengan PA di Indonesia.
A. Penyerahan
Pembinaan Kepada Kementrian Agama
Setelah Indonesia merdeka, atas usul Menteri Agama
yang disetujui oleh Menteri Kehakiman, pemerintah menyerahkan Mahkamah Islam
Tinggi dari Kementerian Kehakiman kepada Kementerian Agama melalui Penetapan
Pemerintah No. 5-SD tanggal 25 Maret 1946.
“Pada masa
kolonial Belanda tidak ada pegawai Pengadilan Agama yang mendapat gaji tetap atau
honorarium dari pemerintah, ketua pengadilan penghulu atau penghulu kepala yang
dibayar oleh Pemerintala Hindia Belanda bukan sebagai Ketua Pengadilan, akan
tetapi dalam kedudukannya sebagai Islamitiseh Adziseur pada Landraad. Adapun
setelah kemerdekaan anggaran belanja Pengadilan Agama disediakan oleh pemerintah.”
B. Lahirnya
UU Nomor 22 Tahun 1948
Berdasarkan pertimbangan bahwa peraturan nikah,
talak dan rujuk, seperti dalam Huwelijksodonantie
S. 1929 No. 348 JO- S. 1931 No. 467, tidak lagi sesuai dengan keadaan.
Sedangkan pembuatan peraturan baru mengenai hal tersebutt tidak mungkin dapat
diselesaikan dengan cepat, maka sambil menunggu peraturan baru dan memenuhi
keperluan yang mendesak, pada tanggal 21 November 1946 disahkanlah dan
diundangkanlah Undang Undang no 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak
dan Rujuk. Akan tetapi UU ini hanya berlaku untuk daerah Jawa dan Madura saja.
Dengan keluarnya UU No. 2 Tahun 1946, maka diambil
tindakan yaitu memisahkan urusan pendaftaran Nikah, Talak, dan Rujuk dari
Pengadilan Agama. Penghulu kepala yang tadinya merangkap ketua Pengadilan Agama
tidak lagi mencampuri urusan peradilan, karena itulah terbentuk Penghulu
Kabupaten, yang diserahi urusan kepenghuluan disamping Penghulu Hakim yang
dikhususkan menangani Pengadilan Agama saja daan mendapat gaji, tingkat serta
kedudukan sebagai Penghulu Kepala. Seluruh biaya tata usaha pengadilan menjadi
tanggungan negara, sedangkan pegawai panitera dibayar dengan gaji tetap dan
ongkos perkara harus disetor ke kas negara.
Untuk mencapai kesatuan dalam hukum, akhir tahun
1947 pemerintah RI menghapus pengadilan yang selama ini dikhususkan hanya untuk
krluarga keraton Solo dan Yogyakarta. Sebagaimana yang telah diketahui sebelumnya,
bagi keluarga keraton dalam urusan agama diadakan pengadilan tersendiri. Untuk
urusan agama Islam diadakan Pengadilan (Raad)
Surambi, sedangkan untuk banding ada Pradoto Gede. Dengan penghapusan kedua
Pengadilan itu, maka sejak akhir tahun 1947 Pengadilan Agama berwewenang
mengadili perkara bagi keluarga keraton.
C. Reaksi
Terhadap Lahirnya UU Nomor 19 Tahun 1948
Pada tahun 1948 lahir UU No. 19 tentang Susunan dan
Kekuasaan Badan Kehakiman dan Kejaksaan. Dalam UU ini kewenangan Peradilan Agama
dimasukkan dalam Peradilan Umum secara istimewa, yang diatur pada Pasal 35 Ayat
(2), Pasal 175, dan Pasal 33. UU ini merupakan peraturan penting Peradilan
dalam masa Pemerintahan RI Yogyakarta. UU ini bermaksud mengatur mengenai
peradilan sekligus mencabut serta menyempurnakan isi UU No. 7 Tahun 1947
tentang Susunan dan Kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaan yang mulai berlaku
pada tanggal 03 Maret 1947.
Sehubung dengan lingkungan peradilan, UU menetapkan
3 lingkungan peradilan, yaitu: Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara dan
Peradilan Ketentaraan.
Dari ketentuan diatas kita mengetahui bahwa
Peradilan Agama tidak mempunyai lingkungan tersendiri padahal pada saat itu
sudah ada yang namanya Peradilan Agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar