BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Semenjak manusia dilahirkan, manusia telah bergaul
dengan manusia lainnya dalam wadah yang kita kenal sebagai masyarakat.
Mula-mula ia berhubungan dengan keluarga, dan ketika usianya meningkat maka ia
akan bergaul bukan hanya dengan keluarga saja, tapi juga kepada teman sekolah,
tetangga dan masyarakat lainnya. Sehingga menimbulkan kesadaran pada diri pada
suatu aturan yang oleh sebagian besar warga masyarakat tersebut ditaati.
Hubungan antara manusia satu dengan manusia lainnya, diatur oleh serangkaian
nilai-nilai dan kaidah-kaidah tertentu.
Didalam pembagian Hukum Konvensional, hukum pidana
termasuk bidang Hukum politik. Artinya, hukum pidana mengatur hubungan antara
warga dengan negaranya dan menitikberatkan kepada kepentingan umum atau
kepentingan publik. Secara historis hubungan hukum yang ada pada awalnya adalah
hubungan pribadi (privat), tetapi dalam seiring berjalannya waktu terdapat
hal-hal yang diambil alih kelompok atau suku dan akhirnya setelah berdirinya
negara, diambil alih oleh negara dan dijadikan untuk kepentingan bersama atau
kepentingan umum. Bukti yang jelas dapat kita lihat didalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) Pasal 344 yang berbunyi “Barangsiapa merampas nyawa orang
lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan
hati diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun”. Dan Pasal 379a
tentang “flessentrekkerij” yang mengancam orang-orang yang berkali-kali
berbelanja ditoko dengan utang tapi tidak mau membayarnya. Hak penuntutan
terhadap perbuatan yang dilarang dan diancam hukuman teletak pada alat
perlengkapan negara, yaitu jaksa penuntut umum.[1]
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah
yang dimaksud dengan pidana?
2.
Apa
tujuan dari pidana?
3.
Apa
saja jenis-jenis sanksi pidana dan tindakan?
4.
Apa
saja hal-hal yang dapat menggugurkan penuntutan dan pelaksanaan pidana?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan pidana
2.
Untuk
mengetahui tujuan dari pidana
3.
Untuk
mengetahui jenis-jenis sanksi pidana dan tindakan
4.
Untuk
mengetahui hal apa yang dapat menggugurkan tuntutan dan pelaksanaan pidana
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pidana
Penggunaan istilah pidana itu sendiri diartikan
sebagai sanksi pidana. Untuk pengertian yang sama, sering juga digunakan
istilah yang lain, yaitu hukuman, penghukuman, pemidanaan, penjatuhan hukuman,
pemberian pidana dan hukum pidana.[2]
Menurut Sudarno pidana adalah penderitaan yang
sengaja dibebankan kepada seseorang yang melakukan perbuatan yang memenuhi
syarat-syarat tertentu. Sedangkan menurut Roeslan Saleh pidana adalah reaksi
atau delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan
negara kepada pelaku delik itu. Didalam kamus “black’s law dictionary”
dinyatakan bahwa punishment adalah:
“any fine, or penalty or confinement inflicted
upon a person by authority of the law and the judgement and sentence of a court
, for some crime or offence committed by him, or for his omission of a duty
enjoined by law.” (setiap denda atau hukuman yang dijatuhkan pada seseorang
melalui sebuah kekuasaan suatu hukum dan vonis serta putusan sebuah pengadilan
bagi kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan olehnya, atau karena
kelalaiannya terhadap suatu kewajiban yang dibebankan oleh aturan hukum).[3]
Pidana menurut penulis adalah hukuman yang diberikan kepada seseorang karena
telah melakukan suatu perbuatan yang melanggar hukum.
B.
Tujuan Pidana
Terdapat banyak teori mengenai tujuan pidana yang
dikenal dengan teori pidana, yaitu teori tentang pembenaran dikenakannya
penderitaan berupa pidana terhadap seseorang. Beberapa teori diantaranya dapat
disusun dengan sistematika sebagai berikut:
1.
Teori
absolut
Disebut
absolut karena menurut teori ini pidana seharusnya merupakan sesuatu yang
mutlak (absolut) menyusul dilakukannya kejahatan. Jadi kesimpulannya pidana
hanya dikenakan kepada orang yang melakukan kejahatan. Teori absolut dibagi
menjadi dua:
a.
Teori
etis (moral) dari Immanuel Kant (1724-1804). Menurut Kant, “the penal law is
a categorical imperative”, suatu perintah mutlak dari moral kita. Oleh
karena itu, pidana tidak dapat dijatuhkan sebagai suatu cara untuk mendukung
suatu kebaikan yang lain, baik untuk penjahat itu sendiri maupun untuk
masyarakat, tetapi dalam semua hal dijatuhkan semata-mata karena individu yang
bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan. Oleh karenannnya pula menurut Kant,
“fiat iustitia, fereat mundus (‘let justice reign even if all the rescals in
the world should perish from it’)”, tegakkanlah keadilan sekalipun semua
penjahat harus dimusnahkan.
b.
Teori
logika dialektis dari G.W.F. Hegel (1770-1831). Menurut Hegel, keberadaan
negara adalah gagasan yang rasioanal, sedangkan kejahatan merupakan
pengingkaran terhadap realitis ini, yang niscaya diselesaikan melalui pidana,
dimana pidana merupakan negation der negation,
pengingkaran dari pengingkaran.
2.
Teori
Relatif
Disebut
relatif karena teori ini mencari pembenaran pidana pada tujuan yang hendak
dicapai dengan pidana. Pidana dikenakan supaya orang jangan melakukan kejahatan.
Teori ini dapat dibagi atas:
a.
Teori
prevensi hukum, yaitu pencegahan ditunjukkan kepada masyarakat umumnya. Dengan
adanya pidana yang dikenakan pada pelaku kejahatan. Maka orang lain-lain
(masyarakat) akan urung melaksanakan niatnya untuk melakukan kejahatan.
b.
Teori
prevensi khusus, yaitu pencegahan ditunjukkan kepada orang-orang yang melakukan
kejahatan supaya tidak lagi melakukan kejahatan.
3.
Teori
Penyatuan (integratif)
Termasuk
kedalam kelompok teori ini adalah pandangan Grotius (1583-654) bahwa, “kodrat
mengajarkan bahwa barangsiapa melakukan kejahatan, ia akan terkena derita”,
tetapi dalam menetapkan berat ringannya derita yang dikenakan tergantung pada
kemanfaatan sosial (aspek relatif).[4]
C.
Jenis Jenis Sanksi Pidana dan Tindakan
1.
Pidana
Sanksi
pidana pokok terdiri dari:
a.
Pidana
mati
Hukum
pidana tidak pernah melarang orang mati, akan tetapi melarang orang menimbulkan
kematian karena perbuatannya. Keberadaan pidana mati dalam KUHP merupakan
sanksi yang paling tinggi apabila dibandingkan dengan sanksi pidana lainnya.
Dilihat dari rumusan-rumusan perbuatan di dalam KUHP, memperlihatkan bahwa
ancaman pidana mati ditunjukkan hanya terhadap perbuatan-perbuatan yang sangat
serius dan berat. Misalnya kejahatan terhadap keamanan negara (Pasal 104, 105
dan sebagainya), pembunuhan berencana (Pasal 340), pencurian dengan kekerasan
yang mengakibatkan matinya orang (Pasal 365, ayat (4) dan sebagainya).
Jonkers
mengatakan bahwa pidana itu hanyalah “noodrecht” (hukum darurat) saja.
Kenyataan itu dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan hukum acara;
1)
Pasal
250 ayat (5) HIR, kepada terdakwa yang diancam pidana mati, kalau ia
menghendaki dan Pengadilan Negeri ada tenaga, harus diberikan seorang pembela.
2)
Pasal
2 ayat (2) Undang Undang Grasi No. 3 Tahun
1950 kemudian dirubah dengan UU: pidana mati itu tidak boleh dieksekusi sebelum
dikeluarkan Surat Keputusan Presiden ( fiat eksekusi).
b.
Pidana
Penjara
Pidana
penjara bersifat merampas kemerdekaan pribadi seorang narapidana. Mengenai
lamanya pidana ini, KUHP menganut sistem sebagai berikut:
1)
Ditentukan
satu batas pidana minimum yang umum, yaitua; 1 hari, (Pasal 12 ayat 2),
kemudian ditentukan pula batas pidana maksimum yang umum, yaitu (15 tahun), dan
dalam hal tertentu yaitu adanya pemberatan, maka batas maksimum tersebut dapat
menjadi 20 tahun (Pasal 12 ayat 2 dan 3).
2)
Kemudian
untuk setiap pasal tindak pidana ditentukan maksimum, misalnya untuk Pasal 362
maksimum 5 tahun, Pasal 372 4 tahun, dan seterusnya.
Dalam KUHP, untuk pidana penjara begitu
juga untuk pidana kurungan dan denda, tidak dikenal ‘maksimum’, artinya tidak
ada satu pasal pun yang menyebutkan berapa ancaman pidana minimumnya. Lamanya
pidana penjara itu di dalam putusan Hakim harus dinyatakan dengan banyaknya
hari, minggu/pekan, bulan atau tahun. Jadi haruslah dinyatakan 2 tahun 6 bulan,
tidak boleh 2 tahun. Orang yang dijatuhi pidana penjara itu
menjalaninya dalam Lembaga Permasyarakatan. Penjara dibagi dalam beberapa kelas
(Pasal 13):
Kelas I :
untuk napi seumur hidup atau berbahaya
Kelas II :
untuk napi 3 bulan lebih dan tidak berbahaya
Kelas III :
untuk napi kelas I dan kelas VI
Kelas VI :
untuk napi kurang dari 3 bulan
Kelas ini dapat turun naik. Dengan kata
lain, sistem pembagian kelas-kelas ini dapat dikatakan mendekati sistem penjara
auburn atau silent system.
c.
Pidana
Kurungan
Sifatnya
sama saja seperti pidana penjara, yakni sama-sama merampas kemerdekaan
seseorang. Secara yuridis pidana ini
lebih ringan daripada pidana penjara. Dianggap ringan oleh pembentuk UU dari
pidana penjara sekaligus merupakan perbedaan antara kedua pidana itu ialah:
1)
Batas
umum maksimum pidananya
a)
Penjara:
maks. 15 tahun dapat dinaikkan 20 tahun
b)
Kurungan:
maks. 1 tahun dapat dinaikkan 1 tahun 4 bulan
2)
Pidana
penjara umumnya diancamkan untuk kejahatan dengan sengaja, sedangkan kurungan
untuk kejahatan yang tidak disengaja dan pelanggran.
3)
Pidana
penjara dapat dilaksanakan dimana saja, kurungan hanya ditempat narapidana.
4)
Jam
kerja pidana penjara 9 jam sehari, kurungan hanya 8 jam.
5)
Suatu
hal yang tidak ada dalam pidana penjara ialah apa yang dimaksud dalam Pasal 23
KUHP: orang yang dijatuhi pidana kurungan boleh memperbaiki nasibnya dengan
biaya sendiri.
d.
Pidana
Denda
Pidana
ini berupa pidana yang ditunjukkan terhadap harta kekayaan. Pidana ini dalam
KUHP tidak menganal batas umur maksimal, sedangkan batas maksimal khusus ,
artinya yang paling tinggi terdapat dalam pasal 403, yaitu Rp. 15.000,-. Batas
umum minimum pidana ini ialah Rp. 375,- (sebelum P.P pengganti Undang
Undang No. 18 Tahun 1960, batas minimal
yaitu Rp. 25 sen. P.P Pengganti UU ini mengubah segala pidana denda dalam
seluruh peraturan pidana yang diatur sebelum tahu 1945, jadi termasuk KUHP,
dengan mengalihkannya 15x kecuali yang sudah ditentukan menjadi tindak pidana
ekonomi).
Pidana
denda diancam dan sering sebagai alternatif pidana kurungan terhadap hampir
semua pelanggaran. Terhadap kejahatan ringa atau kejahatan kejahatanyang
dilakukan karena kealpaan. Pidana denda sering juga diancam sebagai alternatif
pidana penjara atau kurungan.
e.
Pidana
Tutupan
Dasar
hukum diformulasikannya pidana tutupan ini dalam KUHP terdapat didalam Undang
Undang RI 1946 No. 20, Berita Republik Indonesia Tahun II No. 24. Dalam
ketentuan Pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa: dalam mengadili orang yang
melakukan kejahatanyang diancam pidana penjara, karena terdorong oleh maksud
yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan pidana tutupan. Pidana ini tidak
boleh dijatuhkan bila perbuatan itu atau akibatnya sedemikian rupa, sehingga Hakim
menimbang pidana penjara lebih pada tempatnya.
Tempat
dan acara menjalankan pidana ini diatur tersendiri dalam PP 1948 No. 8. Dalam
peraturan ini narapidana diperlakukan jauh lebih baik daripada pidana penjara,
antara lain: uang rokok, pakaian sendiri dan sebagainya. Namu sayangnya, rumah
tutupan itu sampai sekarang belum ada, sehingga praktis pidana tutupan ini
tidak dapat dijalankan, dan memang baru satu kali Hakim menjatuhkannya.[5]
2.
Tindakan
Diadakannya
tindakan dalam sistem sanksi KUHP adalah akibat dari pengaruh kriminologi.
Tindakan dalam KUHP terdiri dari:
a.
Perawatan
dalam rumah sakit jiwa bagi pelaku yang mengalami gangguan jiwa.
b.
Hukuman
bersyarat.
c.
Penyerahan
kepada orang tua atau pemerintah bagi terdakwa yang belum dewasa (<16
tahun). Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa, hakim
dapat menentukan salah satu dari kemungkinan, yaitu (Pasal 45 KUHP):
1)
Memerintahkan
supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau
pemeliharaannya, tanpa pidana apapun.
2)
Memerintahkan
supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun, jika
perbuatan merupakan kejahatan atau merupakan pelanggaran tertentu (Vide Pasal
45 KUHP) serta belum lewat 2 tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan
kejahatan atau salah satu pelanggaran diatas, dan putusannya tetap menjadi
tetap.
3)
Menjatuhkan
pidana kepada yang bersalah. Jika dikenakan pidana, maka maksimum pidana pokok
terhadap tindak pidananya dikurangi sepertiga. Jika diancam pidana mati atau
penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana
paling lama 15 tahun.
Tetapi
pasal 45 KUHP (juga Pasal 46 dan Pasal 47) sudah dinyatakan tidak berlaku lagi
oleh UU No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Tindakan yang dapat dijatuhkan
kepada anak telah diambil alih dan diatur dalam UU No.3 Tahun 1997.[6]
D.
Hal-hal Yang Menggugurkan Tuntutan Dan Pelaksanaan Pidana
1.
Hal
yang menggugurkan hak tuntutan
a)
Yang
diatur dalam KUHP, ada 4 jenis:
1)
Ne be is idem diatur dalam Pasal 76
Arti
kaidah ne be is idem adalah seseorang tidak boleh dituntut sekali lagi
terhadap perbuatan yang baginya telah diputus dengan keputusan hakim yang
berkekuatan hukum tetap. Artinya keputusan hukum itu tidak dapat dirubah
kembali. Kaidah ini lazim juga disebut “non bis in idem” yang artinya
seseorang tidak dapat dituntut 2 kali. Adapun dasar pikiran dari ajaran ne
bis in idem ini adalah:
i.
Untuk
menjunjung tinggi keluhuran negara serta kehormatan pengadilan, rasionya adalah
bahwa, andaikata ajaran ini tidak ada maka kemungkinan seseorang yang telah
dibebaskan hakim karena tidak terbukti bersalah, masih dapat dituntut lagi.
ii.
Untuk
kepastian hukum, rasionya adalah, agar
orang yang telah diputus perkaranya tidak menjadi gelisah karena putusan yang
dapat berubah-ubah dan perkara yang tidak selesai-selesainya. Pasal 27 KUHP
dirumuskan sebagai berikut; 1) kecuali dalam keputusan hakim masih boleh diubah
(herziening), maka orang tidak boleh dituntut sekali lagi lantaran
perbuatan yang baginya telah diputuskan oleh Hakim Negara Indonesia dengan
keputusan yang tidak boleh diubah lagi. 2) jika putusan itu berasal dari Hakim
lain, maka penuntutan tidak boleh dijalankan terhadap orang itu oleh sebab hal
itu juga dalam hal pembebasan atau pelepasan dari tuntutan hukum, putusan
pemidanaan dan pidana itu habis dijalankan atau mendapat ampunan atau pidana
itu menjadi gugur dengan sendirinya (tidak dijalanka lagi karena lewat waktunya
sudah kadaluwarsa).
Apabila ditinjau dari Pasal 76 ini, maka asas ini
mempunyai 3 syarat:
1)
Orang
yang dituntut harus orang yang sama.
2)
Melakukan
suatu perbuatan yang sama dengan yang pernah diputus dulu.
3)
Ada
putusan Hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap mengenai perbuatan yang sama.
b)
Matinya
terdakwa
Matinya
terdakwa ini, telah diatur dalam Pasal 77 KUHP yang dirumuskan sebagai berikut:
“hak menuntut pidana gugur karena si tertuduh meninggal dunia.” Ketentuan ini
adalah sebagai kosekuensi dari sifat ‘pidana’ yang hanya dapat disandarkan atas
kesalahan diri pribadi seorang manusia. Kesalahan hanya dapat dituntut dari
orang yang melakukannya. Dengakn kata lain, kesalahan tidak dapat dipindahkan
kepada orang lain, misalnya keluarga terdakwa. Mahkamah Agung RI pada tanggal 30 September 1975 telah memutuskan
bahwa hak menuntut terhadap penuntut kasasi yang telah meninggal menjadi gugur.
c)
Kadaluwarsa
(lewat waktu)
Kadaluwarsa
adalah pengaru dari lampaunya jangka waktu yang diberikan oleh undang-undangt
untuk menuntut seorang tertuduh dalam tindak pidana. Sementara itu, yang
menjadi dasar hukum dari kadaluwarsa ini ialah: 1) dengan lampaunya waktu,
ingatan masyarakat terhadap tindak pidana itu semankin lenyap, sehingga
keperluan untuk menuntut orang yang melakukannya semankin lenyap pula. 2)
dengan lampaunya waktu kemungkinan untuk
memperoleh bukti-bukti semankin berkurang, karena hilang, rusak, dan sebagainya
sehingga sukar dikumpulkan.
d)
Penyelesaian
diluar perkara
Penyelesaian
diluar perkara ini diatur dalam Pasal 82 KUHP.
i.
Kewenangan
menuntut pelanggaran yang diancam dengan denda saja, menjadi hapus, kalau denga
suka rela dibayar maksimum denda dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan
kalau penuntutan telah dimulai, atas kuasa pejabat yang ditunjuk untuk itu oleh
aturan-aturan umum, dan dalam waktu yang telah ditetapkan olehnya.
ii.
Jika
disamping denda ditentukan perampasan, maka barang yang dikenai perampasan
harus diserahkan pula atau harganya harus dibayar menurut taksiran pejabat
tersebut dalam ayat (1).
iii. Dalam hal-hal pidana
diperberat karena pengulangan, pemberat itu tetap berlaku, sekalipun wewenang
menuntut pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan lebih dulu telah dihapus
berdasarkan ayat (1) dan ayat (2) pasal ini.
iv. Ketentuan-ketentuan
dalam pasal ini berlaku bagi orang yang belum cukup umur, yang pada saat itu
melakukan perbuatan belum berumur 16 tahun.
Syarat-syarat dari penyelsaian diluar
perkara adalah:
i.
Dengan
membayar secara suka-rela denda tertinggi (dan ongkos perkara) yang diancam
terhadap pelanggran itu.
ii.
Dengan
izin pegawai yang ditunjuk undang-undang. Misalnya dalam hal pelanggran pajak
oleh Kepala Jawatan Pajak.
e)
Abolisi
dan Amnesti
Abolisi
adalah wewenang Presiden dengan UU atau atas kuasa UU untuk menghentikan atau
meniadakan segala tuntutan tentang satu atau beberapa orang tertentu.
Amnesti
adalah wewenang Presiden dengan UU atau atas kuasa UU dan dengan pemberian
amnesti itu, maka akibat semua hukum pidana terhadap orang melakukan suatu
tindak pidana dihapuskan.
Jadi
perbedaan antara abolisi dan amnesti ialah, abolisi hanya menggugurkan
penuntutan terhadap mereka yang belum dipidana, sedangkan amnesti mempunyai
akibat hukum yang lebih luas lagi, karena amnesti dapat diberikan kepada mereka
yang telah dipidana maupun yang belum dipidana, artinya tidak hanya tindakan
penuntutan yang ditiadakan akan tetapiu semua akibat hukum berupa apaun
ditiadakan.
2.
Hal
yang menggugurkan pelaksanaan pidana
a)
Matinya
terdakwa
Diatur
dalam Pasal 83 yang berbunyi “hak menjalankan pidana gugur karena si terpidana
meninggal dunia”.
b)
Kadaluwarsa
(lewat waktu)
Diatur
dalam Pasal 84 dan 85.
Pasal
84 menentukan jangka waktu kadaluwarsa untuk melaksanakan pidana. Yaitu 1) 2
tahun bagi segala pelanggaran 2) 5 tahun bagi kejahatan dengan percetakan 3)
1/3 lebih lama dari jangka waktu kadaluwarsa untuk menuntut pidana bagi
lain-lain kejahatan, yakni 8 tahun bagi kejahatan yang diancam denda, kurungan
atau penjara tidak lebih dari 3 tahun (Pasal 78 ayat 2) dan 26 tahun bagi
kejahatan yang diancam penjara lebih dari 3 tahun (Pasal 78 ayat 3).
Pasal 85
menentukan; 1) saat mulai berlakunya jangka waktu kadaluwarsa hak menjalankan
pidana itu ialah keesokan harinya, sesudah keputusan hakim dapat dijalankan 2)
jika si terpidana melarikan diri, sedang ia menjalankan pidananya maka jangka
waktu yang baru di mulai pada keesokan harinya sesudah ia melarikan diri itu.
Jika pelepasan dengan perjanjian (bersyarat) dicabut, maka jangka waktu yang
baru mulai pada keesokan harinya sesudah keputusan itu dicabut 3) jangka waktu
kadaluwarsa itu ditunda berjalannya selama pelaksanaan pidana diskors dan si
terpidana ditahan karena tindak pidana lain.[7]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pidana adalah
hukuman yang diberikan kepada seseorang karena telah melakukan suatu
perbuatan yang melanggar hukum. Tujuan dari adanya pidana adalah untuk membuat
efek jera terhadap pelaku. Sanksi pidana ada 5 yaitu; 1) pidana mati 2) pidana
penjara 3) pidana kurungan 4) pidana denda, dan
5) pidana tutupan. Halhal yang dapat menggugurkan pidana ialah
1.
Yang
diatur dalam KUHP ada 4 jenis; ne bis in idem, matinya terdakwa, kadaluwarsa
dan penuyelesaian diluar perkara.
2.
Yang
diatur diluar KUHP, yaitu; abolisi dan amnesti.
Hal-hal yang menggugurkan pelaksanaan
pidana ialah;
1.
Terpidana meninggal dunia
2.
Kadaluwarsa
B.
Kritik dan Saran
Alhamdulillah
makalah ini telah selesai dibuat, penulis berharap pembaca dapat memahami apa
yang ada didalam makalah ini. Jika terdapat salah kata maupun salah pengertian
mohon kiranya untuk dibenarkan.
[1] Teguh
Prasetyo, Hukum Pidana (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), 1-2.
[2] Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana (Jakarta: Sinar
Grafika, 2011), 185.
[4] Maramis Frans,
Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers,
2012), 231-234.
[5] M. Rasyid
Ariman dan Fahmi Raghib, Hukum Pidana
(Malang: Setara Press, 2016), 292-302.
[6] Frans Maramis,
Hukum Pidana Umum dan., 249-250.
[7] Ibid.,
310-324.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar