Sabtu, 15 Desember 2018

Makalah, jenis-jenis tindak pidana


 BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Semenjak manusia dilahirkan, manusia telah bergaul dengan manusia lainnya dalam wadah yang kita kenal sebagai masyarakat. Mula-mula ia berhubungan dengan keluarga, dan ketika usianya meningkat maka ia akan bergaul bukan hanya dengan keluarga saja, tapi juga kepada teman sekolah, tetangga dan masyarakat lainnya. Sehingga menimbulkan kesadaran pada diri pada suatu aturan yang oleh sebagian besar warga masyarakat tersebut ditaati. Hubungan antara manusia satu dengan manusia lainnya, diatur oleh serangkaian nilai-nilai dan kaidah-kaidah tertentu.
Didalam pembagian Hukum Konvensional, hukum pidana termasuk bidang Hukum politik. Artinya, hukum pidana mengatur hubungan antara warga dengan negaranya dan menitikberatkan kepada kepentingan umum atau kepentingan publik. Secara historis hubungan hukum yang ada pada awalnya adalah hubungan pribadi (privat), tetapi dalam seiring berjalannya waktu terdapat hal-hal yang diambil alih kelompok atau suku dan akhirnya setelah berdirinya negara, diambil alih oleh negara dan dijadikan untuk kepentingan bersama atau kepentingan umum. Bukti yang jelas dapat kita lihat didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 344 yang berbunyi “Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun”. Dan Pasal 379a tentang “flessentrekkerij” yang mengancam orang-orang yang berkali-kali berbelanja ditoko dengan utang tapi tidak mau membayarnya. Hak penuntutan terhadap perbuatan yang dilarang dan diancam hukuman teletak pada alat perlengkapan negara, yaitu jaksa penuntut umum.[1]
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan pidana?
2.      Apa tujuan dari pidana?
3.      Apa saja jenis-jenis sanksi pidana dan tindakan?
4.      Apa saja hal-hal yang dapat menggugurkan penuntutan dan pelaksanaan pidana?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan pidana
2.      Untuk mengetahui tujuan dari pidana
3.      Untuk mengetahui jenis-jenis sanksi pidana dan tindakan
4.      Untuk mengetahui hal apa yang dapat menggugurkan tuntutan dan pelaksanaan pidana


















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pidana
Penggunaan istilah pidana itu sendiri diartikan sebagai sanksi pidana. Untuk pengertian yang sama, sering juga digunakan istilah yang lain, yaitu hukuman, penghukuman, pemidanaan, penjatuhan hukuman, pemberian pidana dan hukum pidana.[2]
Menurut Sudarno pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada seseorang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Sedangkan menurut Roeslan Saleh pidana adalah reaksi atau delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pelaku delik itu. Didalam kamus “black’s law dictionary” dinyatakan bahwa punishment adalah:
any fine, or penalty or confinement inflicted upon a person by authority of the law and the judgement and sentence of a court , for some crime or offence committed by him, or for his omission of a duty enjoined by law.” (setiap denda atau hukuman yang dijatuhkan pada seseorang melalui sebuah kekuasaan suatu hukum dan vonis serta putusan sebuah pengadilan bagi kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan olehnya, atau karena kelalaiannya terhadap suatu kewajiban yang dibebankan oleh aturan hukum).[3]
Pidana menurut penulis adalah  hukuman yang diberikan kepada seseorang karena telah melakukan suatu perbuatan yang melanggar hukum.
B.     Tujuan Pidana
Terdapat banyak teori mengenai tujuan pidana yang dikenal dengan teori pidana, yaitu teori tentang pembenaran dikenakannya penderitaan berupa pidana terhadap seseorang. Beberapa teori diantaranya dapat disusun dengan sistematika sebagai berikut:
1.      Teori absolut
Disebut absolut karena menurut teori ini pidana seharusnya merupakan sesuatu yang mutlak (absolut) menyusul dilakukannya kejahatan. Jadi kesimpulannya pidana hanya dikenakan kepada orang yang melakukan kejahatan. Teori absolut dibagi menjadi dua:
a.       Teori etis (moral) dari Immanuel Kant (1724-1804). Menurut Kant, “the penal law is a categorical imperative”, suatu perintah mutlak dari moral kita. Oleh karena itu, pidana tidak dapat dijatuhkan sebagai suatu cara untuk mendukung suatu kebaikan yang lain, baik untuk penjahat itu sendiri maupun untuk masyarakat, tetapi dalam semua hal dijatuhkan semata-mata karena individu yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan. Oleh karenannnya pula menurut Kant, “fiat iustitia, fereat mundus (‘let justice reign even if all the rescals in the world should perish from it’)”, tegakkanlah keadilan sekalipun semua penjahat harus dimusnahkan.
b.      Teori logika dialektis dari G.W.F. Hegel (1770-1831). Menurut Hegel, keberadaan negara adalah gagasan yang rasioanal, sedangkan kejahatan merupakan pengingkaran terhadap realitis ini, yang niscaya diselesaikan melalui pidana, dimana pidana merupakan negation der negation, pengingkaran dari pengingkaran.
2.      Teori Relatif
Disebut relatif karena teori ini mencari pembenaran pidana pada tujuan yang hendak dicapai dengan pidana. Pidana dikenakan supaya orang jangan melakukan kejahatan. Teori ini dapat dibagi atas:
a.       Teori prevensi hukum, yaitu pencegahan ditunjukkan kepada masyarakat umumnya. Dengan adanya pidana yang dikenakan pada pelaku kejahatan. Maka orang lain-lain (masyarakat) akan urung melaksanakan niatnya untuk melakukan kejahatan.
b.      Teori prevensi khusus, yaitu pencegahan ditunjukkan kepada orang-orang yang melakukan kejahatan supaya tidak lagi melakukan kejahatan.
3.      Teori Penyatuan (integratif)
Termasuk kedalam kelompok teori ini adalah pandangan Grotius (1583-654) bahwa, “kodrat mengajarkan bahwa barangsiapa melakukan kejahatan, ia akan terkena derita”, tetapi dalam menetapkan berat ringannya derita yang dikenakan tergantung pada kemanfaatan sosial (aspek relatif).[4]
C.    Jenis Jenis Sanksi Pidana dan Tindakan
1.      Pidana
Sanksi pidana pokok terdiri dari:
a.       Pidana mati
Hukum pidana tidak pernah melarang orang mati, akan tetapi melarang orang menimbulkan kematian karena perbuatannya. Keberadaan pidana mati dalam KUHP merupakan sanksi yang paling tinggi apabila dibandingkan dengan sanksi pidana lainnya. Dilihat dari rumusan-rumusan perbuatan di dalam KUHP, memperlihatkan bahwa ancaman pidana mati ditunjukkan hanya terhadap perbuatan-perbuatan yang sangat serius dan berat. Misalnya kejahatan terhadap keamanan negara (Pasal 104, 105 dan sebagainya), pembunuhan berencana (Pasal 340), pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya orang (Pasal 365, ayat (4) dan sebagainya).
Jonkers mengatakan bahwa pidana itu hanyalah “noodrecht” (hukum darurat) saja. Kenyataan itu dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan hukum acara;
1)      Pasal 250 ayat (5) HIR, kepada terdakwa yang diancam pidana mati, kalau ia menghendaki dan Pengadilan Negeri ada tenaga, harus diberikan seorang pembela.
2)      Pasal 2 ayat (2) Undang Undang Grasi  No. 3 Tahun 1950 kemudian dirubah dengan UU: pidana mati itu tidak boleh dieksekusi sebelum dikeluarkan Surat Keputusan Presiden ( fiat eksekusi).
b.      Pidana Penjara
Pidana penjara bersifat merampas kemerdekaan pribadi seorang narapidana. Mengenai lamanya pidana ini, KUHP menganut sistem sebagai berikut:
1)      Ditentukan satu batas pidana minimum yang umum, yaitua; 1 hari, (Pasal 12 ayat 2), kemudian ditentukan pula batas pidana maksimum yang umum, yaitu (15 tahun), dan dalam hal tertentu yaitu adanya pemberatan, maka batas maksimum tersebut dapat menjadi 20 tahun (Pasal 12 ayat 2 dan 3).
2)      Kemudian untuk setiap pasal tindak pidana ditentukan maksimum, misalnya untuk Pasal 362 maksimum 5 tahun, Pasal 372 4 tahun, dan seterusnya.
Dalam KUHP, untuk pidana penjara begitu juga untuk pidana kurungan dan denda, tidak dikenal ‘maksimum’, artinya tidak ada satu pasal pun yang menyebutkan berapa ancaman pidana minimumnya. Lamanya pidana penjara itu di dalam putusan Hakim harus dinyatakan dengan banyaknya hari, minggu/pekan, bulan atau tahun. Jadi haruslah dinyatakan 2 tahun 6 bulan, tidak boleh 2 tahun. Orang yang dijatuhi pidana penjara itu menjalaninya dalam Lembaga Permasyarakatan. Penjara dibagi dalam beberapa kelas (Pasal 13):
Kelas I             : untuk napi seumur hidup atau berbahaya
Kelas II           : untuk napi 3 bulan lebih dan tidak berbahaya
Kelas III          : untuk napi kelas I dan kelas VI
Kelas VI          : untuk napi kurang dari 3 bulan
Kelas ini dapat turun naik. Dengan kata lain, sistem pembagian kelas-kelas ini dapat dikatakan mendekati sistem penjara auburn atau silent system.
c.       Pidana Kurungan
Sifatnya sama saja seperti pidana penjara, yakni sama-sama merampas kemerdekaan seseorang. Secara  yuridis pidana ini lebih ringan daripada pidana penjara. Dianggap ringan oleh pembentuk UU dari pidana penjara sekaligus merupakan perbedaan antara kedua pidana itu ialah:
1)      Batas umum maksimum pidananya
a)      Penjara: maks. 15 tahun dapat dinaikkan 20 tahun
b)      Kurungan: maks. 1 tahun dapat dinaikkan 1 tahun 4 bulan
2)      Pidana penjara umumnya diancamkan untuk kejahatan dengan sengaja, sedangkan kurungan untuk kejahatan yang tidak disengaja dan pelanggran.
3)      Pidana penjara dapat dilaksanakan dimana saja, kurungan hanya ditempat narapidana.
4)      Jam kerja pidana penjara 9 jam sehari, kurungan hanya 8 jam.
5)      Suatu hal yang tidak ada dalam pidana penjara ialah apa yang dimaksud dalam Pasal 23 KUHP: orang yang dijatuhi pidana kurungan boleh memperbaiki nasibnya dengan biaya sendiri.
d.      Pidana Denda
Pidana ini berupa pidana yang ditunjukkan terhadap harta kekayaan. Pidana ini dalam KUHP tidak menganal batas umur maksimal, sedangkan batas maksimal khusus , artinya yang paling tinggi terdapat dalam pasal 403, yaitu Rp. 15.000,-. Batas umum minimum pidana ini ialah Rp. 375,- (sebelum P.P pengganti Undang Undang  No. 18 Tahun 1960, batas minimal yaitu Rp. 25 sen. P.P Pengganti UU ini mengubah segala pidana denda dalam seluruh peraturan pidana yang diatur sebelum tahu 1945, jadi termasuk KUHP, dengan mengalihkannya 15x kecuali yang sudah ditentukan menjadi tindak pidana ekonomi).
Pidana denda diancam dan sering sebagai alternatif pidana kurungan terhadap hampir semua pelanggaran. Terhadap kejahatan ringa atau kejahatan kejahatanyang dilakukan karena kealpaan. Pidana denda sering juga diancam sebagai alternatif pidana penjara atau kurungan.
e.       Pidana Tutupan
Dasar hukum diformulasikannya pidana tutupan ini dalam KUHP terdapat didalam Undang Undang RI 1946 No. 20, Berita Republik Indonesia Tahun II No. 24. Dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa: dalam mengadili orang yang melakukan kejahatanyang diancam pidana penjara, karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan pidana tutupan. Pidana ini tidak boleh dijatuhkan bila perbuatan itu atau akibatnya sedemikian rupa, sehingga Hakim menimbang pidana penjara lebih pada tempatnya.
Tempat dan acara menjalankan pidana ini diatur tersendiri dalam PP 1948 No. 8. Dalam peraturan ini narapidana diperlakukan jauh lebih baik daripada pidana penjara, antara lain: uang rokok, pakaian sendiri dan sebagainya. Namu sayangnya, rumah tutupan itu sampai sekarang belum ada, sehingga praktis pidana tutupan ini tidak dapat dijalankan, dan memang baru satu kali Hakim menjatuhkannya.[5] 
2.      Tindakan
  Diadakannya tindakan dalam sistem sanksi KUHP adalah akibat dari pengaruh kriminologi. Tindakan dalam KUHP terdiri dari:
a.       Perawatan dalam rumah sakit jiwa bagi pelaku yang mengalami gangguan jiwa.
b.      Hukuman bersyarat.
c.       Penyerahan kepada orang tua atau pemerintah bagi terdakwa yang belum dewasa (<16 tahun). Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa, hakim dapat menentukan salah satu dari kemungkinan, yaitu (Pasal 45 KUHP):
1)      Memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharaannya, tanpa pidana apapun.
2)      Memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau merupakan pelanggaran tertentu (Vide Pasal 45 KUHP) serta belum lewat 2 tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran diatas, dan putusannya tetap menjadi tetap.
3)      Menjatuhkan pidana kepada yang bersalah. Jika dikenakan pidana, maka maksimum pidana pokok terhadap tindak pidananya dikurangi sepertiga. Jika diancam pidana mati atau penjara  seumur hidup, dijatuhkan pidana paling lama 15 tahun.
Tetapi pasal 45 KUHP (juga Pasal 46 dan Pasal 47) sudah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh UU No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak telah diambil alih dan diatur dalam UU No.3 Tahun 1997.[6]
D.    Hal-hal Yang Menggugurkan Tuntutan Dan Pelaksanaan Pidana
1.      Hal yang menggugurkan hak tuntutan
a)      Yang diatur dalam KUHP, ada 4 jenis:
1)   Ne be is idem diatur dalam Pasal 76
Arti kaidah ne be is idem adalah seseorang tidak boleh dituntut sekali lagi terhadap perbuatan yang baginya telah diputus dengan keputusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Artinya keputusan hukum itu tidak dapat dirubah kembali. Kaidah ini lazim juga disebut “non bis in idem” yang artinya seseorang tidak dapat dituntut 2 kali. Adapun dasar pikiran dari ajaran ne bis in idem ini adalah:
i.      Untuk menjunjung tinggi keluhuran negara serta kehormatan pengadilan, rasionya adalah bahwa, andaikata ajaran ini tidak ada maka kemungkinan seseorang yang telah dibebaskan hakim karena tidak terbukti bersalah, masih dapat dituntut lagi.
ii.    Untuk kepastian hukum,  rasionya adalah, agar orang yang telah diputus perkaranya tidak menjadi gelisah karena putusan yang dapat berubah-ubah dan perkara yang tidak selesai-selesainya. Pasal 27 KUHP dirumuskan sebagai berikut; 1) kecuali dalam keputusan hakim masih boleh diubah (herziening), maka orang tidak boleh dituntut sekali lagi lantaran perbuatan yang baginya telah diputuskan oleh Hakim Negara Indonesia dengan keputusan yang tidak boleh diubah lagi. 2) jika putusan itu berasal dari Hakim lain, maka penuntutan tidak boleh dijalankan terhadap orang itu oleh sebab hal itu juga dalam hal pembebasan atau pelepasan dari tuntutan hukum, putusan pemidanaan dan pidana itu habis dijalankan atau mendapat ampunan atau pidana itu menjadi gugur dengan sendirinya (tidak dijalanka lagi karena lewat waktunya sudah kadaluwarsa).    
Apabila ditinjau dari Pasal 76 ini, maka asas ini mempunyai 3 syarat:
1)      Orang yang dituntut harus orang yang sama.
2)      Melakukan suatu perbuatan yang sama dengan yang pernah diputus dulu.
3)      Ada putusan Hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap mengenai perbuatan yang sama.
b)      Matinya terdakwa
Matinya terdakwa ini, telah diatur dalam Pasal 77 KUHP yang dirumuskan sebagai berikut: “hak menuntut pidana gugur karena si tertuduh meninggal dunia.” Ketentuan ini adalah sebagai kosekuensi dari sifat ‘pidana’ yang hanya dapat disandarkan atas kesalahan diri pribadi seorang manusia. Kesalahan hanya dapat dituntut dari orang yang melakukannya. Dengakn kata lain, kesalahan tidak dapat dipindahkan kepada orang lain, misalnya keluarga terdakwa. Mahkamah Agung  RI pada tanggal 30 September 1975 telah memutuskan bahwa hak menuntut terhadap penuntut kasasi yang telah meninggal menjadi gugur.
c)      Kadaluwarsa (lewat waktu)
Kadaluwarsa adalah pengaru dari lampaunya jangka waktu yang diberikan oleh undang-undangt untuk menuntut seorang tertuduh dalam tindak pidana. Sementara itu, yang menjadi dasar hukum dari kadaluwarsa ini ialah: 1) dengan lampaunya waktu, ingatan masyarakat terhadap tindak pidana itu semankin lenyap, sehingga keperluan untuk menuntut orang yang melakukannya semankin lenyap pula. 2) dengan lampaunya waktu kemungkinan  untuk memperoleh bukti-bukti semankin berkurang, karena hilang, rusak, dan sebagainya sehingga sukar dikumpulkan.
d)     Penyelesaian diluar perkara
Penyelesaian diluar perkara ini diatur dalam Pasal 82 KUHP.
i.     Kewenangan menuntut pelanggaran yang diancam dengan denda saja, menjadi hapus, kalau denga suka rela dibayar maksimum denda dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan kalau penuntutan telah dimulai, atas kuasa pejabat yang ditunjuk untuk itu oleh aturan-aturan umum, dan dalam waktu yang telah ditetapkan olehnya.
ii.   Jika disamping denda ditentukan perampasan, maka barang yang dikenai perampasan harus diserahkan pula atau harganya harus dibayar menurut taksiran pejabat tersebut dalam ayat (1).
iii. Dalam hal-hal pidana diperberat karena pengulangan, pemberat itu tetap berlaku, sekalipun wewenang menuntut pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan lebih dulu telah dihapus berdasarkan ayat (1) dan ayat (2) pasal ini.
iv. Ketentuan-ketentuan dalam pasal ini berlaku bagi orang yang belum cukup umur, yang pada saat itu melakukan perbuatan belum berumur 16 tahun.
Syarat-syarat dari penyelsaian diluar perkara adalah:
i.     Dengan membayar secara suka-rela denda tertinggi (dan ongkos perkara) yang diancam terhadap pelanggran itu.
ii.   Dengan izin pegawai yang ditunjuk undang-undang. Misalnya dalam hal pelanggran pajak oleh Kepala Jawatan Pajak.
e)      Abolisi dan Amnesti
Abolisi adalah wewenang Presiden dengan UU atau atas kuasa UU untuk menghentikan atau meniadakan segala tuntutan tentang satu atau beberapa orang tertentu.
Amnesti adalah wewenang Presiden dengan UU atau atas kuasa UU dan dengan pemberian amnesti itu, maka akibat semua hukum pidana terhadap orang melakukan suatu tindak pidana dihapuskan.
Jadi perbedaan antara abolisi dan amnesti ialah, abolisi hanya menggugurkan penuntutan terhadap mereka yang belum dipidana, sedangkan amnesti mempunyai akibat hukum yang lebih luas lagi, karena amnesti dapat diberikan kepada mereka yang telah dipidana maupun yang belum dipidana, artinya tidak hanya tindakan penuntutan yang ditiadakan akan tetapiu semua akibat hukum berupa apaun ditiadakan.
2.      Hal yang menggugurkan pelaksanaan pidana
a)      Matinya terdakwa
Diatur dalam Pasal 83 yang berbunyi “hak menjalankan pidana gugur karena si terpidana meninggal dunia”.
b)      Kadaluwarsa (lewat waktu)
Diatur dalam Pasal 84 dan 85.
Pasal 84 menentukan jangka waktu kadaluwarsa untuk melaksanakan pidana. Yaitu 1) 2 tahun bagi segala pelanggaran 2) 5 tahun bagi kejahatan dengan percetakan 3) 1/3 lebih lama dari jangka waktu kadaluwarsa untuk menuntut pidana bagi lain-lain kejahatan, yakni 8 tahun bagi kejahatan yang diancam denda, kurungan atau penjara tidak lebih dari 3 tahun (Pasal 78 ayat 2) dan 26 tahun bagi kejahatan yang diancam penjara lebih dari 3 tahun (Pasal 78 ayat 3).
Pasal 85 menentukan; 1) saat mulai berlakunya jangka waktu kadaluwarsa hak menjalankan pidana itu ialah keesokan harinya, sesudah keputusan hakim dapat dijalankan 2) jika si terpidana melarikan diri, sedang ia menjalankan pidananya maka jangka waktu yang baru di mulai pada keesokan harinya sesudah ia melarikan diri itu. Jika pelepasan dengan perjanjian (bersyarat) dicabut, maka jangka waktu yang baru mulai pada keesokan harinya sesudah keputusan itu dicabut 3) jangka waktu kadaluwarsa itu ditunda berjalannya selama pelaksanaan pidana diskors dan si terpidana ditahan karena tindak pidana lain.[7]




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pidana adalah  hukuman yang diberikan kepada seseorang karena telah melakukan suatu perbuatan yang melanggar hukum. Tujuan dari adanya pidana adalah untuk membuat efek jera terhadap pelaku. Sanksi pidana ada 5 yaitu; 1) pidana mati 2) pidana penjara 3) pidana kurungan 4) pidana denda, dan  5) pidana tutupan. Halhal yang dapat menggugurkan pidana ialah
1.      Yang diatur dalam KUHP ada 4 jenis; ne bis in idem, matinya terdakwa, kadaluwarsa dan penuyelesaian diluar perkara.
2.      Yang diatur diluar KUHP, yaitu; abolisi dan amnesti.
Hal-hal yang menggugurkan pelaksanaan pidana ialah;
1.      Terpidana  meninggal dunia
2.      Kadaluwarsa    
B.     Kritik dan Saran
Alhamdulillah makalah ini telah selesai dibuat, penulis berharap pembaca dapat memahami apa yang ada didalam makalah ini. Jika terdapat salah kata maupun salah pengertian mohon kiranya untuk dibenarkan.


[1] Teguh Prasetyo, Hukum  Pidana  (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), 1-2.
[2] Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), 185.
[3] Ibid., 186.                                        
[4] Maramis Frans, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), 231-234.
[5] M. Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, Hukum  Pidana (Malang: Setara Press, 2016), 292-302.
[6] Frans Maramis, Hukum  Pidana Umum dan., 249-250.
[7] Ibid., 310-324.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SIKAP PENTING SEORANG WIRAUSAHAWAN DAN KEPRIBADIAN YANG HARUS DIMILIKI SEORANG WIRAUSAHAWAN

A.     Sikap Penting Seorang Wirausahawan a)       Pekerja Keras dan Cerdas : dalam menjalankan suatu usaha memerlukan banyak energi dan d...