A. Asas dan Tujuan
Untuk ketentuan asas
dan tujuan yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik.
Pasal 3
Pemanfaatan teknologi
informasi dan transaksi elektronik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum,
manfaat, kehati-hatian, iktikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau
netral teknologi.
Pasal 4
Pemanfaatan teknologi
informasi dan transaksi elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk :
a. Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi
dunia.
b. Mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka
meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan public.[1]
c. Memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan
penyelenggara teknologi informasi seoptimal mungkin dan bertanggungjawab, dan
d. Memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan
penyelenggara teknologi informasi.[2]
Dalam Undang-undang nomor 11 tahun 2008
tentang informasi dan transaksi elektronik menjelaskan secara terperinci yang
mana pasal 3 Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi
elektronik ini mengatakan harus mempunyai kepastian hukum yang pasti dan
mengikat, mempunyai manfaat bagi yang melakukan suatu transaksi, kehati-hatian
dalam suatu transaksi elektronik agar terhindar dari kejahatan-kejahatan yang
timbul dari suatu transaksi elektronik, iktikad baik menggambarkan adakah
kebaikan pelaku-pelaku yang menggunakan transaksi elektronik dengan sopan atau
tidak. Bila satu sama lain melakukan transaksi dengan baik maka akan terjadi
kenyamanan terhadap transaksi tersebut dan kebebasan memilih teknologi di sini
lebih kepada para pelaku transaksi elektronik dapat memilih cara, bagaiamana,
menggunakan media apa hingga semua transaksi elektronik sesuai dengan kehendak
pelaku transaksi tersebut atau netral teknologi di dini lebih kepada apakah
suatu transaksi tersebut sudah dengan pasti haknya dimiliki oleh suatu
transaksi tersebut. Tidak menyangkut pihak mana pun, bila pun menyangkut pihak
yang lain keterikatannya harus jelas dan mempunyai aspek legalitas hukum yang
pasti.[3]
Asas
legalitas atau asas dari keterikatan Undang-undang nomor 11 tahun 2008 tentang
informasi dan transaksi elektronik ini tidak lepas dengan pasal 1320 KUHPerdata
yang mana mengikat anatara kedua belah pihak atau lebih. Seperti terurai dari 4
poin sebagai berikut :
1. Adanya kesepakatan kehendak (Consensus Agreement)
2. Wenang / kecakapan berbuat menurut hukum (Capacity)
3. Obyek / perihal tertentu
4. Kausa yang diperbolehkan / halal / legal
Ke empat poin tersebut merupakan sangat
mutlak akan terjadi suatu perjanjian yang satu dengan yang lain. Di mana
perikatan tersebut akan menjadikan transaksi terencana. Asas transaksi terjadi
karena terdapat dan masuk empat poin perikatan antara pihak terkait. Ketika
perikatan tersebut berlangsung maka seketika transaksi elektronik berlangsung.
Seperti halnya penjual obat herbal menjual
kepada orang yang berumur minimal 17 tahun, maka poin wewenang / kecakapan akan
di peroleh. Termasuk kesepakatan kehendak ingin memiliki barang yang di jual
oleh pelaku transaksi elektronik dapat dari mana informasi dan adanya kehendak
menjual dan membeli barang elektronik maka masuk ke poin kesepakatan pada
perikatan. Dua yang tercantum itu merupakan mutlaknya secara umum dari
perikatan baik bukan media elektronik maupun media elektronik.[4]
Untuk obyek dan kuasa, bila pelaku
elektronik mempunyai naungan dari apa yang menjadi suatu elektronik tersebut.
Maka termasuk dari kuasa yang diberikan. Termasuk adanya pisik atau semacamnya
dari obyek yang dijadikan transaksi.
Terdapat empat syarat keabsahan kontak yang
diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata, yang merupakan syarat pada umumnya, sebagai
berikut :
1. Adanya kesepakatan kehendak (Consensus Agreement)
Dengan
syarat kesepakatan kehendak dimaksudkan agar suatu kontrak dianggap sah oleh
hukum, kedua belah pihak mesti ada kesesuaian pendapat tentang apa yang diatur
olrh kontrak tersebut. Oleh hukum umumnya diterima teori bahwa kesepakatan
kehendak itu ada jika tidak terjadinya salah satu unsur sebagai berikut :
a. Paksaan (dwang, duress)
b. Penipuan (bedrog,fraud)
c. Kesilapan (dwaling, mistake)[5]
2. Wenang / kecakapan berbuat menurut hukum (Capacity)
Syarat
wenang berbuat maksudnya adalah bahwa pihak yang melakukan kontrak haruslah
orang yang oleh hukum memang berwenang membuat kontrak tersebut. Sebagaimana
pasal 1330 KUHPerdata menentukan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat
perikatan, kecuali undang-undang menentukan bahwa ia tidak cakap. Mengenai
orang-orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian dapat kita temukan dalam
pasal 1330 KUHPerdata, yaitu:
a. Orang-orang yang belum dewasa
b. Mereka yang berada di bawah pengampuan
c. Wanita yang bersuami. Ketentuan ini dihapus dengan berlakunya
undang-undang no.1 tahun 1974 tentang perkawinan. Karena pasal 31 Undang-undang
inin menentukan bahwa hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dan
masing-masing berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
3. Obyek / perihal tertentu
Dengan
syarat perihal tertentu, dimaksudkan bahwa suatu kontrak haruslah berkenaan
dengan hal yang tertentu, jelas dan diberikan oleh hukum. Mengenai hal ini
dapat kita temukan dalam pasal 1332 dan 1333 KUHPerdata.[6]
Pasal 1332
KUHPerdata menentukan bahwa
“Hanya
barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu
perjanjian atau persetujuan.”[7]
Sedangkan
pasal 1333 KUHPerdata menentukan bahwa
“Suatu
perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit
ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu,
asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan / dihitung.”[8]
4. Kausa yang diperbolehkan / halal / legal
Maksudnya
adalah bahwa suatu kontrak haruslah dibuat dengan maksud / alasan yang sesuai
hukum yang berlaku. Jadi tidak boleh dibuat kontrak untuk melakukan hal-hal
yang bertentangan dengan hukum. Dan isi perjanjian tidak dilarang oleh
undang-undang atau tidak bertentangan dengan kesusilaan / ketertiban umum
(pasal 1337 KUHPerdata). Selain itu pasal 1335 KUHPerdata juga menentukan bahwa
suatu perjanjian yang dibuat tanpa sebab atau dibuat karena suatu sebab yang
palsu atau terlarang adalah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Untuk poin pasal 4 dan 5 hurufyang terdapat di Undang-undang nomor 11
tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik yang mana huruf a
menjelaskan informasi dan transaksi elektronik tersebut[9]
harus punya manfaat hingga dapat mencerdaskan suatu masyarakat yang mengakses media elektronik
tersebut. Untuk poin b pada pasal 4 tersebut mendapatkan nilai tarik hingga
berimbas dengan perekonomian baik secara nasional dan internasional bagi
keberlangsungan masyarakat. Bila media elektronik terselenggara dapat lebih
efektif melayani masyarakat untuk dapat mengakses media elektronik tersebut
sesuai dengan poin c. Untuk huruf d dan e ini saling berkesinambungan dimana
seorang masyarakat di ikut sertakan untuk dapat penampatan dari media
elektronik tersebut, bila sudah di dapat maka naungan hukum yang menjadi
legalitas dapat digunakan sebagaimana mestinya.[10]
[1] Team Jogja Bangkit, Undang-Undang
Informasi dan Transaksi elektronik Nomor 11 Tahun 2008, (Yogyakarta :
Galang Press, 2009), hal. 14
[2] Ibid., hal.15
[3] Extrix Mangkepriyanto, Pidana, ITE dan perlindungan
hukum ( Jakarta : Guepedia, 2019), hal. 55.
[4] Ibid,. hal.56.
[5] Extrix Mangkepriyanto, Pidana, ITE dan perlindungan
hukum ( Jakarta : Guepedia, 2019), hal.57
[6] Ibid., hal.58
[7] Tim Visi Yustisia, KUHPerdata dan
KUHAPerdata, ( Jakarta Selatan : VisiMedia, 2015), hal.348.
[8] Ibid., hal.349.
[9] Extrix Mangkepriyanto, Pidana, ITE dan perlindungan
hukum ( Jakarta : Guepedia, 2019), hal.59
[10] Ibid., hal 60.