Qard adalah harta yang dipinjamkan
kepada seseorang yang membutuhkan yang mana ada kewajiban untuk
mengembalikannya dalam jumlah atau takaran yang sama.
Landasan hukum disyari’atkannya qard adalah QS.
al-Baqarah ayat 245:
مَّن ذَا ٱلَّذِى يُقْرِضُ ٱللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا
فَيُضَٰعِفَهُۥ لَهُۥٓ أَضْعَافًا كَثِيرَةً
“Siapakah yang mau memberi kepada allah, pinjaman
yang baik (menafkahkan harta dijalan allah), maka allah akan melipatgandakan
pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.”
Rukun Qard
1. Dua
orang yang berhutang
2. Barang
yang dihutangkan
3. Akad
(shighat)
Syarat Qard:
1. Akad
qard dilakukan dengan sighat ijab dan kabul atau bentuk lain yang menggantikan,
seperti muatah (akad dengan tindakan/ saling memberi dan saling
mengerti).
2. Kedua
belah pihak harus cakap hukum (berakal, baligh dan tanpa paksaan). Berdasarkan syarat
ini, maka qard sebagai akad tabarru’
(berderma/ sosial), maka akad qard yang dilakukan oleh anak kecil, orang gila,
orang bodoh atau orang yang dipaksa, maka hukumnya tidak sah.
3. Menurut
kalangan Hanafiyah, harta yang dipinjamkan haruslah harta yang ada padanannya
di pasaran,, atau padanan nilai (mitsli), sementara menurut Jumhur Ulama,
harta yang dipinjamkan dalam qard dapat
berupa harta apa saja yang dapat dijadikan tanggungan.
4. Ukuran,
jumlah, jenis dan kualitas harta yang dipinjamkan harus jelas agar mudah untuk
dikembalikan. Hal ini untuk menghindari perselisihan di antara para pihak yang
melakukan akad qard.
Al-Zuhaili juga menjelaskan dua
syarat lain dalam akad qard, pertama, qard tidak boleh mendatangkan
keuntungan atau manfaat bagi pihak yang meminjamkan. Kedua, akad qard
tidak dibarengi dengan transaksi lain, seperti jual beli atau lainnya.
[sumber rujukan Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer (Jakarta: Rajawali Pers, 2016)]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar